(View Original Web?)

KONGKO-KONGKO > KABAR-KABARI

Sejarah Prostitusi


(Page 1 of 4) >  >>
Sejarah Prostitusi: Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada
zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti
diteruskan dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya yang mutakhir
didorong faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan nilai-nilai agama.

Seperti perdagangan yang lain, pelacuran lahir oleh adanya penawaran dan
permintaan. Ketika Belanda merangsek pesisir Jawa, sekitar awal abad ke-17
Masehi, muncul aktivitas pelayanan seksual untuk serdadu, pedagang, dan
utusan VOC di sekitar pelabuhan.

Namun, pilihan wanita bagi pria Eropa itu masih terbatas. Mereka hanya bisa
mengambil anak-anak perempuan pribumi yang "dijual" keluarganya. Dan
pemanfaatan seks wanita ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Umpamanya,
perempuan itu hanya diakui sebagai pembantu, padahal digauli.

Rupanya, hubungan antarras itu dirasakan mengganggu, baik oleh pribumi
maupun pihak Kompeni. Maka dikeluarkanlah pada 1600-an peraturan yang
melarang pemeluk Kristen mempekerjakan perempuan pribumi sebagai pembantu
rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk
berzina. Ini catatan yang dikumpulkan penulis buku Pelacuran di Indonesia:
Sejarah dan Perkembangannya, Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, para doktor
kependudukan, serta kandidat doktor Endang Sulistyaningsih, sekarang dosen
pascasarjana yang bekerja di Depnaker.

Menurut para penulis itu, tradisi "menjual" atau mempersembahkan wanita
untuk imbalan tertentu berlanjut sampai beratus tahun kemudian. Dalam
sejarah, nilai perempuan sebagai barang dagangan itu, kata mereka, melekat
sejak berdirinya dua istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755, yaitu Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa.
Ketika itu, kekuasaan seorang raja tak punya batas.

"Mereka menguasai segalanya. Tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga
nyawa hamba sahayanya," begitu tulisan di buku yang baru diluncurkan pekan
lalu. Di antara harta milik raja adalah selir-selir. Siapa pun, kala itu,
berlomba-lomba mendekati kekuasaan dengan berbagai cara. Misalnya para
bangsawan. Mereka tak segan menyerahkan putri-putrinya sendiri sebagai tanda
kesetiaan. Kerajaan kecil tetangga juga mengirimkan upeti perempuan. Rakyat
kelas bawah tidak kalah berpartisipasi. Mereka menyerahkan anak-anaknya
dengan harapan keluarganya punya cantolan dengan istana.

Pemasok wanita yang tak punya stok juga berburu gadis sampai ke daerah lain.
Sejak masa itu ada kawasan yang dikenal sebagai gudang perempuan cantik dan
memikat. Di Jawa Barat daerah itu adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan
Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar,
Malang, Banyuwangi, dan Lamongan untuk Jawa Timur.

Bahkan Kecamatan Gabus Wetan, di Indramayu, dapat memenuhi kebutuhan selir
untuk Istana Sultan Cirebon. "Reputasi daerah seperti ini masih merupakan
legenda sampai saat ini," begitu menurut buku itu. Dan reputasi daerah ini
belum redup sebagai daerah pemasok wanita ******* kota hingga kini.

Jumlah selir yang dimiliki raja-raja itu dianggap memberi pengaruh baik pada
citra kekuasaan mereka. Wanita-wanita itu juga mempercepat pembiakan
keturunan untuk meneguhkan atau memperluas kekuasaan. Tidak hanya di Jawa.
Di Bali, umpamanya, seorang janda dari kasta bawah, jika tak ada beking kuat
keluarganya, otomatis menjadi milik raja. "Jika raja memutuskan tidak
mengambilnya untuk lingkungan istana, dia akan dikirimkan ke luar kota untuk
menjadi *******"--dengan catatan, sebagian penghasilannya disetor ke Istana.
Tren ini, bersama dengan perbudakan dan pengabdian seumur hidup, merupakan
hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal di seluruh Asia.

Memang, tradisi itu belum mencapai segi komersialisasinya sebagai industri
seks dengan sistem germo dan ******* profesionalnya. Namun tradisi pada
zaman feodal itu membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada
sekarang ini. Yaitu nilai bahwa perempuan adalah komoditas yang
diperjualbelikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki. Dan ini menjadi cikal
bakal pelacuran modern. Ini menurut Terence dan kawan-kawan.

Nilai-nilai itu makin subur, ketika Belanda membentuk koloni baru di sini.
Hadirnya serdadu, pedagang, dan utusan yang dibawa pemerintah kolonial
menghidupkan permintaan pelayanan seks--lebih daripada awalnya yang hanya di
sekitar pelabuhan.

Namun, karena hubungan itu menimbulkan risiko kesehatan, pemerintah segera
melahirkan peraturan pada 1852. Dalam aturan itu "si kupu-kupu" disebut
sebagai "wanita publik" yang diawasi langsung dan secara ketat oleh polisi.
Targetnya, mereka terdata agar bisa dimonitor kesehatannya. Untuk itu
aktivitas wanita publik ini dilokalisasi dalam suatu tempat yang disebut
rumah bordil. Belakangan, pengawasannya dialihkan dari pemerintah pusat ke
pemda. Di Surabaya, misalnya, pemda menetapkan tiga daerah lokalisasi.

Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum agraria,
1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam modal
swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan. Gerakan
ekonomi ini menarik migrasi tenaga kerja laki-laki--mayoritasnya
bujangan--secara besar-besaran.

Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan kota-kota
di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya-Surabaya. Fisik
kota-kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini
yang membuat aktivitas pelacuran menjadi-jadi dan menjelaskan asal mula
mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di
setiap kota.

Surabaya, pada masa penjajahan Belanda itu, tumbuh sebagi kota pelabuhan
terkemuka dan pangkalan angkatan laut. "Ketika banyak kapal barang dan kapal
angkatan laut memasuki pelabuhan, dengan segera kedatangannya disambut
perahu-perahu kecil yang mengelilingi. Di perahu kecil itu terdapat para
******* yang mencari langganan baru." Mereka dibawa dari rumah bordil.
Menurut catatan sejarah Kota Surabaya, pada 1864, dari 18 rumah bordil,
pelacurnya berjumlah 228 orang.

Pada 1870, buruh-buruh perkebunan di Jawa dan Sumatera dikenalkan dengan
sistem baru: pembayaran dengan uang kontan. Setelah menerima pembayaran,
buruh-buruh ini pergi ke kampung-kampung mencari cewek. Akhirnya perempuan
desa punya alternatif pekerjaan baru yang mendatangkan uang: melacurkan
diri. "Jadi aktivitas para buruh yang mencari kepuasan seks menimbulkan
aktivitas prostitusi."

Bukan hanya buruhnya, para manajer dan mandor Belanda suka juga "cari angin"
ke kampung-kampung. Perilaku ini menyebabkan di daerah Bandung Selatan, di
Subang, Garut, Sukabumi, dan Cianjur Selatan, yang menjadi daerah perkebunan
Belanda, lahir penduduk yang fisiknya seperi sinyo dan noni Belanda. Selain
itu, kunjungan-kunjungan ******* ke penjara pun diperbolehkan untuk
"menghilangkan keresahan politik".

Di sektor lain, pada zaman itu, dan sampai sekarang, berbagai bentuk
pelacuran telah dikenal pula dalam seni tari tradisional. Dongbret, lenong,
ronggeng, ledek, punya bagian sentral terdiri atas tari-tarian, dan sering
diadakan untuk meramaikan hajatan atau selamatan, sering pula diikuti dengan
transaksi seks.

Perdagangan seks itu terus berkembang selama pendudukan Jepang, 1941-1945.
Juga di rumah-rumah bordil, dengan pelanggan yang berbeda: para prajurit
Jepang. Dua orang mantan tentara Jepang, yang bertugas di Sulawesi Selatan
pada 1942, tahu sedikitnya ada 29 rumah bordil dengan 280 penghibur,
termasuk yang didatangkan dari Toraja.

Tak lama setelah Indonesia merdeka, kala perekonomian masih morat-marit,
perempuan muda dan keluarga miskinnya dari desa mencoba mengubah nasibnya di
kota. Arus ini terus terjadi sampai awal 1970-an. Bersamaan dengan itu
banyak pengembara pria melakukan transit di kota-kota besar sebelum kembali
ke kampung dan mereka makin menyempitkan peluang wanita untuk beroleh
pekerjaan. Cerita ini mudah ditebak akhirnya. Perempuan desa itu menjadi
******* karena mereka masih muda, tak berpengalaman, pendidikan rendah, dan
tak punya keterampilan.

Faktor lain yang menyerabkan wanita menjadi pelayan seks, menurut Terence
Hull dan kawan-kawan, adalah tingginya angka perceraian. Pada 1950-an, angka
perceraian di Jawa Barat tertinggi di dunia. Akibat perceraian itu banyak
janda muda jatuh bokek, dan emosinya terganggu. Lalu mereka mencari uang di
lembah hitam.

Di Jawa Timur, pada 1960-1970 tercatat 4.600 "pekerja seks", tetapi
diperkirakan di luar jumlah itu masih ada tambahan 1.000 orang lagi. Di Jawa
Tengah ada 2.404 ******* di 486 rumah pelacuran. Di Jakarta sendiri
jumlahnya 6.500 orang.

Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu
menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk
usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, terbanyak
lowongan berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan
rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu
melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai 10 kali
lipat.

Nah, ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan
masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain *******
klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk call girls alias
gadis panggilan, ada kelompok wanita yang disebut perek ("perempuan
eksperimen"), dan paling mutakhir ABG ("anak baru gede") atau "remaja
komersial" yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mol. Tetapi remaja
yang "bisa dipakai" ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai "pekerja"
seks. Sebab ada yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang.

Data resmi menyebutkan, jumlah "pekerja seks" sampai 1994/1995 tercatat
71.281. Tidak termasuk yang di luar pagar lokalisasi. Tetapi ahli ilmu
sosial Daniel Dhakidae pernah menghitung-hitung, pada 1971 saja ada 106.840
WTS. Jadi, berapa jumlah ******* sesungguhnya, memang sulit dihitung sejak
dulu. Kata Terence dan kawan-kawan, "Tidak ada angka perkiraan jumlah wanita
tuna susila yang dapat dipercaya, termasuk sejak zaman kolonial."

Hanya dua hal tentunya bisa dipercaya. Mereka dekat dengan aktivitas
kriminal dan potensial sebagai penyebar penyakit.

jangan berpikiran negatif yah, cuma mau ngeshare doank kok, yang kelebihan kolak boleh donk bagi-bagi

nice share brhooo...
:D
cek kulkas dah

parah emank pelopornya jaman dulu,
udah ngejajah, ngasih epek jelek lg...

sekalian ane punya tebak2an,
kata yg disensor diatas apa tebak
yg bisa jawab, dpt kolak lg dr ane
Quote from: admin_danny on January 23, 2010, 07:04:48 PM
nice share brhooo...
:D
cek kulkas dah

parah emank pelopornya jaman dulu,
udah ngejajah, ngasih epek jelek lg...

sekalian ane punya tebak2an,
kata yg disensor diatas apa tebak
yg bisa jawab, dpt kolak lg dr ane



kamsudnya ini min  

Quote
Data resmi menyebutkan, jumlah "pekerja seks" sampai 1994/1995 tercatat
71.281. Tidak termasuk yang di luar pagar lokalisasi. Tetapi ahli ilmu
sosial Daniel Dhakidae pernah menghitung-hitung, pada 1971 saja ada 106.840
WTS. Jadi, berapa jumlah pel*cur sesungguhnya, memang sulit dihitung sejak
dulu. Kata Terence dan kawan-kawan, "Tidak ada angka perkiraan jumlah wanita
tuna susila yang dapat dipercaya, termasuk sejak zaman kolonial."

Hanya dua hal tentunya bisa dipercaya. Mereka dekat dengan aktivitas
kriminal dan potensial sebagai penyebar penyakit.


 
_______________________________


update sensor
wah hebat mod dab  :D
@-DabmintonZ-
cek kulkas mod,
hehehe...
mohon disensor dikit yeh kata2nya...
takutnya diliat mbah google,
tercoreng deh situs ane
(Page 1 of 4) >  >>

Navigation

Back Sub-Forum