(View Original Web?)

KONGKO-KONGKO > BERITA TERKINI

Pertanian Kolektif, Bumdes & Koperasi, Solusi Masalah Pertanian Dan Pengangguran Desa.


(Page 1 of 1)




Donny Rahardian:
Masalahnya adalah biaya upah di kali jumlah pekerja Tani.

Di negara berkembang Pertanian dikerjakan kolektif atau semi kolektif dengan gaji / biaya upah yg rendah.

Di negara maju Pertanian dikerjakan dengan Mesin2 dan Otomatisasi dengan jumlah Pekerja yg sangat sedikit.

Tetapi di negara maju dari awal revolusi industri sudah memproduksi mesin2 pertanian sendiri.

Indonesia seharusnya sudah memilih hanya memproduksi hasil pertanian yg bisa membayar upah banyak pekerja tani,

Bukan hasil pertanian yg dimakan banyak rakyat indonesia.

Realitas nya hal itu sudah tidak bisa berjalan bersamaan.

Tony Gede:
Dengan pertanian kolektif ini, besaran lahan yang dikerjakan bisa sangat besar.

Bumdes bertindak sebagai perusahan pemilik lahannya.

Bahkan kalau lahan di satu desa belum dianggap menguntungkan, beberapa desa bisa bergabung membentuk yang namanya Bumdes bersama.  Sehingga lahan yang dikerjakan bisa lebih besar.

Selain itu, dengan pemasaran langsung ke konsumen (tidak melalui jalur tengkulak), perusahaan pertanian kolektif seharusnya bisa mendapatkan harga yang lebih bagus.

Dan konsumen ini ga hanya terbatas hanya individu, tapi bisa juga supermarket, restoran, hotel, UMKM, dan lain2nya.

Lagipula, pertanian kan tidak harus melulu padi.  Bisa juga hasil-hasil pangan lainnya.

Selain itu, Bumdes di sini bertindak sebagai perusahaan induk, alias holding company.

Jadi, selain pertanian kolektif, Bumdes juga bisa mengadakan unit-unit usaha lainnya sesuai kebutuhan.

Jika tidak sedang musim tanam atau panen, para pekerja bisa dialihkan untuk bekerja di unit usaha lainnya.  Kalau perlu.

Selain itu, di tulisan saya yang lain, saya mengusulkan agar metode pertanian kolektif ini dijadikan bagian dari program Food Estate.  Sehingga jangkauan metode pertanian ini bisa luas, se-Indonesia juga.

Aan Widjaya:
1.Jaman skarang bumdes paling bisa sewa tanah milik petani real dan petani yang berdasi(menguasai lahan yang besar).
2. Manajemen bumdes harus profesional, kalau dalam keadaan normal dipastikan akan untung besar dan semua petani dapat dividen (katakanlah begitu).
3. Timbul pertanyaan berarti penghasilan para petani rata dan sama, betul tidak.
4. Dalam keadaan yang tidak normal (kena puso misalnya) maka bumdes rugi besar, apakah para petani mau menanggungnya, saya rasa tidak, jadi perlu diasuransikan (apakah ada yang mau perusahaan asuransi?) kalau ada yang mau pasti preminya sangat tinggi, dan sangat memberatkannya.
5. Dengan dikelola profesional bumdes pasti mengandalkan tehnologi yang berakibatkan jumlah tenaga kerja akan berkurang banyak, sehingga target pemuda pulang ke desanya banyak akan menganggur juga.
5. Perlu tenaga manajemen yang handal supaya bumdes efektif dan efisien, ini perlu seleri yg besar supaya tenaga ahli mau bekerja di desa.
6.Bumdes tidak hanya soal tanam saja tapi hasil produksi bisa di packing dan dipasarkan pada market yang perlu biaya besar, tanpa bantuan negara tidak mungkin ROI akan tercapai..

Kalau saya sih lebih mengharapkan biarlah petani bersaing sendiri, bagi yang terjerat tengkulak skarang di disediakan kredit yang tidak mencekik dan hasilnya pasti dijual ke bumdes, dimana bumdes berperan menjembatani antar hasil produksi petani ke market, kalau laku ya dibayar.sehingga petani dapat uang hasil penjualannya. Petani butuh pompa air, tinggal hubungi bumdes, petani butuh pupuk, bibit, butuh traktor dll tinggal hubungi bumdes, jadi peran bumdes adalah melengkapi kebutuhan petani saja.

Tony Gede:
Thanks udh komentar.

Nanti sy jwb satu2 ya.

Utk soal petani bersaing sendiri, ini berarti ngomongin petani yg punya tanah sendiri kan?

Bumdes memang bisa tetap memberi bantuan yg dibutuhkan sprti yg masbro sebutkan.

Artikel saya ini utk mrk yg mau bertani, tapi ga punya kemampuan utk dapat tanah.  Solusinya melalui pertanian kolektif.

Aan Widjaya:
Jelaslah yg namanya petani ya punya tanah garapan dong walaupun hanya sewa saja.
Pertanian kolektif cocoknya bedol desa ditransmigrasikan,dimulai dari awal,nah itu baru jos, semua tdk ada yg nganggur, dan pendapatannya merata.

Tony Gede:
Keliatannya kata pertanian kolektif ini bikin salah paham.  Bau2nya soviet banget kali ya,

Saat saya ngomong pertanian kolektif ini, saya bicara tentang perusahaan koperasi pekerja yg jadi pemilik tanah yang entah disewa atau dibeli.

Lantas pekerja sekaligus pemilik ini yg menggarap.

Ini solusi utk generasi muda petani yg kesulitan dapat lahan. Daripada sendiri2, ya gabung aja dalam satu perusahaan.

Bumdes ini bisa membantu permodalan juga.  Kira2 seperti itu.

Kata bahasa Inggrisnya itu Cooperative Farming.

Aan Widjaya:
Lha kalau dalam satu perusahaan, tentunya hasilnya disetor   ke perusahaan dong, lalu pendapatannya ya di bagi rata ke petani itu, kalau lahan yg digarap beda ukuran dan beda hasil, lain pendapatannya Tapi kalau transmigran biasanya dapat jatah yg sama lahannya.

doodleramen:
Maka, generasi muda di desa ini cenderung memilih untuk cari kerja di kota, daripada menganggur.
Nothing's wrong here sob. Semakin maju suatu negara semakin ekonominya beralih ke service economy (seperti kerja kantoran) dari agrarian economy. Lihat saja Singapore. Malah bagus menurut ane.

Dengan semakin sedikitnya tenaga kerja di sektor pertanian, maka akan semakin mendorong mekanisasi yang akan meningkatkan produktivitas. Coba pikir gimana negara seperti AS dan Australia yang tenaga kerjanya mahal bisa mengekspor hasil pertanian ke negara2 seperti Indonesia?

Tony Gede:
N by the way, bahkan di negara2 yg pertaniannya maju kayak Jepang, Amrik, atau Aussie, mrk jg punya masalah yg hampir mirip.

Yaitu menurunnya minat generasi muda utk jadi petani.

Saya inget bbrp taun lalu baca di laporan tahunan Zen Noh d Jepang.

Mereka sampai mencanangkan program menjadikan petani sebagai profesi kedua bagi kalangan muda.

Ini karena kurangnya minat generasi muda sana utk jdi petani.

Makanya utk kasus di Indonesia pun, saya mau usulkan cara ini utk tingkatkan minat generasi muda utk membentuk perusahaan di bidang pertanian.

Klo soal service economy, org2 seperti Budiman Sudjatmiko lg berusaha agar desa jg bisa menghadirkan ekonomi jasa, misalnya di bidang teknologi informasi, green energy, atau yg seperti itu.

Jadi desa jg bsa jdi pusat pertumbuhan ekonomi. G cuma di kota.

doodleramen:
Nah lebih baik membuat sentra ekonomi baru di daerah/desa sana untuk pemerataan. Salah satu alasan Jokowi membangun ibukota di Kalimantan.

Profesi petani, selain berat membanting tulang, bisa dibilang low skilled, dan juga tidak digaji besar. Kesannya juga kurang seksi, makanya anak muda sekarang kurang tertarik. Kecuali buat beberapa yang memang suka dengan lifestyle nya.

Kalau disini petani itu bosnya. Mereka ini menyewa tenaga kerja dari negara2 Pasifik untuk memetik buah misalnya. Gak bakal mau bosnya petik sendiri heheheā€¦ Buat orang Pasifik mereka ok2 saja karena bayarannya disini gede dibanding negara asalnya.

Tony Gede:
Membuat sentra baru di desa2?  Betul banget.

Dan paling bagus kalau sentra2 ini disesuaikan dengan potens wilayah dan kearifan lokalnya.

Itu makanya dulu Budiman Sudjatmiko dkk merancan dan memperjuangkan UU Desa, Dana Desa, dan Bumdes.

Tapi kembali ke awal artikel saya, tiap desa itu punya potensi sendiri. 

Ada yg potensinya perikanan. Ada yg peternakan.  Ada yg pertambangan.

Dan ada desa yg memang potensinya pertanian.

Tpi gimana biar pemuda2 di desa ini jangan berbondong2 ke kota lagi karena g tertarik bertani?

Cara yg saya usulkan adalah membuat perusahaan pertanian kolektif ini, memanfaatkan kolaborasi Bumdes dan koperasi pekerja.

Tapi utk bidang2 usaha lain, memang ga tertutup kemungkinan utk menggunakan kolaborasi Bumdes dan koperasi pekerja.

Hanya aja saat ini saya belum ada ude.

doodleramen:
Tpi gimana biar pemuda2 di desa ini jangan berbondong2 ke kota lagi karena g tertarik bertani?
Ya bukan masalah menurut ane. Kalau mereka kerja di kota dengan gaji lebih besar berarti GDP kita meningkat. Untuk pertanian ya mungkin nanti akan digarap perusahaan2 besar dengan tenaga profesional dan bantuan teknologi. Coba pikir, gak ada yang rugi kok kalau skenarionya begini.

Tony Gede:
Concern saya dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan energi pertumbuhan di wilayah pedesaan, dan menurunkan arus urbanisasi, sob.

Dengan menjadikan profesi petani lebih menjanjikan, ini jg bisa menggerakkan ekonomi di desa2. Dan meningkatkan pembangunan di wilayah pedesaan, memeratakan pembangunan.

Sesuai dngn salah satu program Nawa Cita, membangun dari pinggiran.

*------------NOTE:
Demikian Kumpulan nyinyiran netizen terkait artikel Pertanian Kolektif, Bumdes & Koperasi, Solusi Masalah Pertanian Dan Pengangguran Desa. Seword Indonesia Maju yang dituangkan dalam bentuk Komentar. Semua komentar diatas bukanlah rekayasa dan memang benar apa adanya hasil cuitan keluh kesah yang kita kutip dari sumber resminya. Kami tidak bertanggung jawab atas isi komentar tersebut! Hanya sekedar memberi informasi yang sedang viral diperbincangkan! jika ingin membaca dan ingin mengetahui sumber resmi berita aslinya, silakan langsung ke sumber resminya. Terimakasih.

Code: (Sumber Resmi)
https://seword.com/ekonomi/pertanian-kolektif-bumdes-koperasi-solusi-0mTfVx6aBH

(Page 1 of 1)

Navigation

Back Sub-Forum